Saturday, September 10, 2016

Refleksi kehidupan Tri Utomo : Keceriaan di Tradisi Mudik Lebaran bersama Keluarga Besar Setiap Tahun



Refleksi kehidupan Tri Utomo : Keceriaan di Tradisi Mudik Lebaran bersama Keluarga Besar Setiap Tahun




Sudah menjadi tradisi di setiap tahun saat libur lebaran, sebagian besar warga Indonesia melakukan tradisi mudik atau pulang ke kampung halaman. Memang tidak dipungkiri bahwa kota-kota besar di Indonesia sebagian besar penghuninya adalah orang perantauan. Sehingga saat libur panjang seperti Idul Fitri kota tersebut akan lengang ditinggal oleh penghuninya.
Mudik adalah kegiatan perantau/pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan misalnya menjelang lebaran. Pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan, selain tentunya juga sowan dengan orang tua. Tradisi mudik hanya ada di Indonesia.

Orang udik itu dulunya adalah sebutan orang betawi untuk pendatang-pendatang yang kebanyakan berasal dari Jawa (sebelah timur Jakarta). Biasanya kaum pendatang yangg kebanyakan dari Jawa itu selalu pulang ke kampung halamannya saat hari raya, bila ada keperluan penting, atau karena pekerjaannya di Jakarta sudah selesai. Dan para pendatang itu menyebut dengan istilah pulang kampung. Jadi itulah yang mungkin menyebabkan ada istilah orang kampung disebut sebagai orang udik. Mudik dimanfaatkan banyak orang untuk melepas kangen dengan kampung halaman dan berkumpul bersama keluarga setelah lama ditinggalkan.

Jika mendekati saat menjelang lebaran Idul Fitri. Relatif banyak cerita tentang barang berharga milik mereka yang telah ia atau gadaikan untuk bisa pulang mudik. Sementara ada juga menghutang pada tetangga, teman, saudara atau rentenir kecil atau kelas menengah yang berada ditempat tinggalnya.
Oleh karena itu, seolah dalam keadaan seperti itu maka resiko apapun akan ditempuh agar bisa mudik lebaran tepat waktunya. Bagi mereka tak ada kata segan-segan mengupayakan berbagai cara melalui percepatan eksodus untuk bisa tiba di kampung halaman-nya.
Kita bisa menyaksikan bagaimana gelombang manusia yang ada distasiun kereta api atau terminal bus antar kota berlomba-lomba “berjubel-jubel” untuk mendapatkan angkutan kendaraan umum agar bisa mudik serta lebaran di kampung halaman, meski terkadang kerap juga diperlakukan tidak manusiawi sebagai konsumen angkutan umum, serta dijadikan objek. Seperti hal adanya praktik pencaloan, konsumen tidak mendapat informasi yang benar dan jelas, masalah keamanan dan kenyaman serta keterlambatan jadwal keberangkatan.
Di antara mereka tak sedikit mengalami kesulitan mendapat karcis karena kereta api dan bus, kesulitan harus berdiri atau duduk antre selama berjam-jam, kesulitan mendapatkan karcis dengan harga yang wajar karena dinaikan secara berlebihan oleh para awak angkutan umum, yang tidak mengindahkan ketentuan yang berlaku, kesulitan mendapatkan tempat duduk meski sudah membeli karcis.
Bahkan mereka yang banyak memakai angkutan umum jasa kereta api, banyak yang kecewa, mengeluh atau marah-marah kepada petugas kereta api yang dinilai kurang professional, mungkin karena arahan dari pimpinannya juga kurang. Akibat pengaturan perjalanan yang ketat untuk mengejar layanan berdasarkan kuantitas, hal-hal kecil malah tidak diperhatikan hingga menurunkan kualitas pelayanan.
Pertanyaan kenapa hal-hal momentum teristimewa telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat amat sangat penting dan membahagiakan hanya setahun sekali terjadi, bukan menjadi kebiasaan buruk menyedihkan? Seharusnya bukan menjadi repetisi (berulang-ulang) persoalan yang sama? Sebenarnya hal itu perlu disadari oleh semua pihak,  dengan demikian hingga dalam kehidupan mereka belum tentu bisa mengecap kesenangan seperti di hari-hari mudik lebaran seperti ini bisa terwujud.