Refleksi kehidupan Tri Utomo : Keceriaan di Tradisi Mudik Lebaran
bersama Keluarga Besar Setiap Tahun
Sudah menjadi tradisi di setiap tahun saat libur lebaran, sebagian besar warga Indonesia melakukan tradisi mudik atau pulang ke kampung halaman. Memang tidak dipungkiri bahwa kota-kota besar di Indonesia sebagian besar penghuninya adalah orang perantauan. Sehingga saat libur panjang seperti Idul Fitri kota tersebut akan lengang ditinggal oleh penghuninya.
Mudik adalah kegiatan perantau/pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan misalnya menjelang lebaran. Pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan, selain tentunya juga sowan dengan orang tua. Tradisi mudik hanya ada di Indonesia.


Oleh
karena itu, seolah dalam keadaan seperti itu maka resiko apapun akan ditempuh
agar bisa mudik lebaran tepat waktunya. Bagi mereka tak ada kata segan-segan
mengupayakan berbagai cara melalui percepatan eksodus untuk bisa tiba di kampung
halaman-nya.
Kita
bisa menyaksikan bagaimana gelombang manusia yang ada distasiun kereta api atau
terminal bus antar kota berlomba-lomba “berjubel-jubel” untuk mendapatkan
angkutan kendaraan umum agar bisa mudik serta lebaran di kampung halaman, meski
terkadang kerap juga diperlakukan tidak manusiawi sebagai konsumen angkutan
umum, serta dijadikan objek. Seperti hal adanya praktik pencaloan, konsumen
tidak mendapat informasi yang benar dan jelas, masalah keamanan dan kenyaman
serta keterlambatan jadwal keberangkatan.
Di
antara mereka tak sedikit mengalami kesulitan mendapat karcis karena kereta api
dan bus, kesulitan harus berdiri atau duduk antre selama berjam-jam, kesulitan
mendapatkan karcis dengan harga yang wajar karena dinaikan secara berlebihan oleh
para awak angkutan umum, yang tidak mengindahkan ketentuan yang berlaku,
kesulitan mendapatkan tempat duduk meski sudah membeli karcis.
Bahkan mereka yang banyak memakai angkutan umum
jasa kereta api, banyak yang kecewa, mengeluh atau marah-marah kepada petugas
kereta api yang dinilai kurang professional, mungkin karena arahan dari
pimpinannya juga kurang. Akibat pengaturan perjalanan yang ketat untuk mengejar
layanan berdasarkan kuantitas, hal-hal kecil malah tidak diperhatikan hingga
menurunkan kualitas pelayanan.
Pertanyaan kenapa hal-hal momentum teristimewa
telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat amat sangat penting dan
membahagiakan hanya setahun sekali terjadi, bukan menjadi kebiasaan buruk
menyedihkan? Seharusnya bukan menjadi repetisi (berulang-ulang) persoalan
yang sama? Sebenarnya hal itu perlu disadari oleh semua pihak, dengan
demikian hingga dalam kehidupan mereka belum tentu bisa mengecap kesenangan
seperti di hari-hari mudik lebaran seperti ini bisa terwujud.